CERPEN - Kereta Terakhir Kim
Malam hari ini terasa sangat dingin. Salju turun dari segala penjuru, hampir menutupi semua tempat yang tak berpelindung. Kereta modern berwarna putih menjadi bukan seperti kereta. Seperti potongan es krim yang sedang berjalan. sejenak dia tersenyum membayangkan es krim yang berjalan.
Dia melihat ke sekeliling, mencari tempat duduk agar ia bisa menikmati kopi yang baru saja di belinya, dan membaca berita terbaru di koran favoritenya.
Setelah melihat ada beberapa tempat duduk kosong di ujung sana, dia mulai berjalan pelan sambil memegang tongkat stainles dengan tangan kirinya dan kopi hangat di tangan kanannya.
Suasana stasiun sangat ramai. Sesekali kopi di tangannya hampir tumpah saat berpapasan dengan orang-orang yang berlalu lalang. Orang-orang berpakaian modis dan keren itu berjalan dengan sangat terburu-buru seperti di kejar hantu saja, begitu pikirnya.
Setelah berjalan beberapa meter akhirnya dia sampai di tempat duduk yang di tuju. Tempat duduk ini berjejer untuk empat orang tapi hanya dia sendiri yang duduk di sana. Tempat duduk dari stainles terbaru. Sepertinya tempat duduk ini baru saja di ganti dengan yang lebih modern.
Dia duduk sambil menatap ke arah kereta putih yang baru saja berhenti, lalu meletakkan kopi hangat di sebelah kanannya. Dia membuka tas kecil berwarna hijau tua lalu mengambil sebuah koran edisi terbaru yang keluar tadi pagi, ia lalu membacanya.
Di sampul halaman depan koran terlihat dua tokoh dunia sedang bersalaman. Mereka adalah Donald Trump dan Kim Jong Un. Dia tersenyum sebentar, lalu meletakkan koran yang baru selesai di bacanya di sebelah kiri. Dia lalu menyeruput kopi hitam hangatnya sambil memandang ke arah kereta yang mulai berjalan.
Suara kereta yang berdesis lembut menandakan itu bukan kereta yang dulu lagi. Matanya mulai berkaca-kaca, lalu perlahan keluar sebuah butiran kecil yang mulai turun membasahi pipi keriputnya.
Pikirannya melayang ke kejadian tujuh puluh tahun lalu. Tepat di stasiun ini, di tempat yang sama, di waktu yang sama. Tapi dengan suasana yang berbeda.
Suasana saat itu sangat mencekam. Rentetan tembakan mortir terdengar saling bersahutan. Asap mengepul dimana-mana. Bau anyir mayat-mayat yang mulai membusuk tercium sangat menyengat.
Tiap kali ada kilatan cahaya yang terpancar dari langit utara pasti di iringi dengan suara dentuman keras, tangisan, teriakan dan tentu saja air mata.
Dia, kakek tua keriput dengan rambut yang hampir semuanya putih itu bernama Kim Hyeon Seok yang saat itu masih berusia sepuluh tahun. Dulu, tujuh puluh tahun yang lalu meletus perang Korea. korea Utara menyerang Korea Selatan.
Di stasiun ini dia bepisah dengan Ayahnya. Ayahnya yang baru saja diangkat menjadi 'prajurit kelas satu' harus memenuhi kewajibannya berperang dengan saudaranya sendiri, orang utara.
"Nak ... " suara ayah Kim tertahan, seperti ingin mengatakan banyak hal tetapi bingung harus memulainya dari mana.
Itulah laki-laki, banyak beban berat di atas pundaknya tapi tidak ingin membaginya dengan siapapun. Tidak ingin orang yang paling di kasihinya ikut menanggung bebannya. Karena ia selalu yakin, ini memang sudah menjadi takdirnya sebagai seorang laki-laki.
"Jaga anak kita baik-baik bu, aku pasti kembali dan kita pasti akan berkumpul bersama lagi " Ucap ayah Kim pelan ke istrinya. Padahal ia tau kemungkinan untuk berkumpul lagi sangat kecil, bahkan tidak mungkin.
Ayah Kim mengusap rambut Kim kecil pelan. Matanya memerah tapi tak mengeluarkan sebutir embun pun. Dia berusaha tegar di depan anaknya, dia berusaha tetap menjadi sosok yang di banggakan oleh anaknya, sosok yang tidak pernah menangis sekalipun.
Kim kecil menatap ayahnya dengan seribu tanda tanya. Apakah ayahnya akan meninggalkan dirinya, apakah ayahnya tidak sayang lagi kepadanya.
Suara kereta mulai terdengar keras, tanda akan berjalan. Ini adalah kereta terakhir yang akan membawa pengungsi dari Incheon ke selatan Korea ke kamp-kamp pengungsian dekat pangkalan militer Amerika.
Kim kecil dan ibunya masuk ke gerbong kereta yang penuh sesak. Ayahnya membalikkan badan. Bukan tidak ingin melihat Kim kecil untuk terakhir kalinya, tapi karena sudah tidak mampu menahan air yang mulai tumpah dengan deras dari kedua matanya.
Pertempuran yang di lakukan ayah Kim ini adalah pertempuran untuk mempertahankan stasiun agar para pengungsi dapat melarikan diri dengan selamat, dan ini adalah kereta terakhir yang akan membawa pengungsi ke tempat aman.
Sudah sangat bisa di pastikan bahwa tidak akan ada satupun tentara Korea Selatan yang akan selamat dalam pertempuran ini.
Cahaya suar berwarna merah sudah di tembakkan ke udara, pertanda tentara Korea Utara sudah mulai mendekat ke stasiun ini. Ayah Kim segera mengambil senjata laras panjangnya lalu bergabung bersama teman-temannya.
Itu adalah terakhir kalinya Kim melihat sosok sang ayah, sosok yang selama ini selalu dia banggakan.
Kereta perlahan mulai bergerak menjauh, begitupun dengan ayahnya yang mulai tak terlihat, hilang ditelan gelapnya malam. Yang tersisa hanyalah suara tangisan pengungsi lain dan bayangan sang ayah di dalam kepalanya. Ayahnya tersenyum sangat lebar saat merayakan ulang tahunnya yang ke sepuluh beberapa bulan lalu.
Duaarrrrrrrr ... suara tembakan roket dari pesawat jet langsung menghancurkan stasiun kereta sampai hangus terbakar.
Kim kecil melihat ke arah stasiun yang terbakar. Cahaya kuning kemerahan dan asap hitam tebal membumbung tinggi ke angkasa. mengeluarkan butiran air mata. Suaranya terisak, semakin lama isakan itu semakin keras dan semakin keras lagi. Dia menangis sangat keras sambil memeluk ibunya, erat.
"Ayahh ... Ayahh ... Ayahh buu ... Ayahh buu..."
Ibunya mendekap Kim erat. Sambil mengusap lembut rambut hitamnya. Tak terasa sebutir air mata meluncur membasahi wajah tegarnya.
Kereta terakhir itu terus melaju menembus gelapnya malam.
Posting Komentar
Posting Komentar